REFLEKSI KRITIS BUDAYA POLITIK KONTEMPORER BUGIS MAKASSAR: DARI RUANG PUBLIK KULTURAL KE RUANG PUBLIK POLITIS (CRITICAL REFLECTION OF THE CONTEMPORARY POLITICAL CULTURE OF BUGIS MAKASSAR: FROM THE CULTURAL PUBLIC TO THE POLITICAL PUBLIC)

Authors

  • Andi Faisal Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, Indonesia Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea Makassar

Abstract

Abstrak 

Ruang publik pada dasarnya adalah suatu ruang/ranah terbuka yang dapat diakses bersama-sama oleh publik tanpa adanya pembatasan dan diskriminasi di dalamnya. Ruang publik sejatinya berasal dari aspirasi publik, oleh tindakan publik, dan untuk kepentingan publik, yang merupakan ruang demokratis bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya kepada penguasa sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan (kekuasaan). Di Sulawesi Selatan, khususnya pada masyarakat Bugis Makassar, dikenal istilah tudang sipulung atau tudang assipettangngareng yang secara harfiah berarti “duduk bersamaâ€, namun secara konseptual merupakan ruang publik kultural (politis) yang demokratis bagi publik (rakyat) untuk menyuarakan kepentingan-kepentingannya dalam rangka mencari solusi atas permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Di era mediasi dan kapitalisme kontemporer, tradisi budaya politik ala tudang sipulung atau tudang assipettangngareng ini kemudian bertransformasi dalam wujud warung-warung kopi. Keberadaan warung-warung kopi Makassar ini tidak saja sebagai tempat makan, minum, atau berkumpul secara terbuka sambil berdiskusi, namun secara politis menjadi menjadi ruang bagi publik (sebagai warganegara) untuk membicarakan berbagai aktivitas kesehariaannya dalam konteks bernegara. Dengan pendekatan kajian budaya (cultural studies), tulisan ini melihat secara kritis representasi transformasi ruang publik Bugis Makassar dari ruang publik kultural ala tudang sipulung atau assipettangngareng ke ruang publik kontemporer (politis) ala warung-warung kopi di Makassar. 

Kata kunci: Bugis Makassar, ruang publik, tudang sipulung/assipettangngareng, komodifikasi, warung kopi

 

Abstract

Public space is basically an open space/domain that can be accessed jointly by the public without any restrictions and discrimination. Public space actually originates from public aspirations, by public actions, and for the public interest, which is a democratic space for the public to express their aspirations to the authorities as the responsible party for the administration (power). In South Sulawesi, especially in the Bugis community of Makassar, it is known as the sipulung place or assipettangngareng, which literally means "sitting together", but conceptually is a democratic (political) public space for the public (people) to voice their interests in order find solutions to the problems they face. In the era of mediation and contemporary capitalism, the tradition of political culture is a collection of scavengers or the field of civil engineering which then transforms into the form of coffee shops. The existence of these Makassar coffee shops is not only a place to eat, drink, or gather openly while discussing, but politically becomes a space for the public (as citizens) to discuss various daily activities in the context of the state. With a cultural studies approach, this paper looks critically at the representation of the transformation of the Bugis Makassar public space from a cultural public space to a scavenger stand or assipettangngareng to a contemporary (political) space in the style of coffee shops in Makassar. 

Keywords: Bugis Makassar, public space, Tudang Sipulung/Assipettangngareng, commodification, coffee shop.

References

Abidin, A. Z. 1985. Wajo Abad XV-XVI: Suatu Penggalan Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara. Bandung: Penerbit Alumni.

Abidin, A. Z. 1999. Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press.

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage.

Barker, Chris. 2004. The Sage Dictionary of Cultural Studies. London: Sage.

Gramsci, Antonio. 1996. Selections from the Prison Notebooks. Quintin Hoare & Geoffrey Nowell Smith (pnyt.). London: Lawrence and Wishart.

Habermas, Jurgen.1993. The Structural Transformation of The Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. (trans.) by Thomas Burger. Cambridge: The MITT Press

Hamid, Abu. 2005. Siri & Pesse: Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar, Toraja. Makassar: Pustaka Refleksi.

Hamid, Abdullah.1985. Manusia Bugis Makassar: Suatu Tinjauan Historis terhadap Pola Tingkah laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Inti Dayu.

Hardiman, Franky Budiman.1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius.

Ibrahim, Anwar.2003. Sulesana: Kumpulan Esai tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal. Makassar: Lephas.

Mattulada. 1974. Bugis-Makassar: Manusia dan Kebudayaannya. Terbitan Khusus Berita Antropologi No 16, Fakultas Sastra.

Mattulada.1985. La Toa: Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rahim, A. Rahman. 1985. Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Makassar: LEPHAS.

Rousseau, J. J. 1998. The Social Contract or Principles of Political Right. Hertfordshire: Wordsworth Editions Limited.

Takko, A.B. & Mukhlis Hadrawi. 2001. Hak Asasi Manusia dalam Budaya Bugis, Laporan Hasil Penelitian Rutin. Makassar: Lembaga Penelitian Unhas

Zuhro, R. S. 2009. Demokrasi Lokal: Perubahan dan Kesinambungan Nilai-nilai Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Bali. Ombak: Yogyakarta

Downloads

Published

2020-12-31

Issue

Section

Language & Heritage