THE CHALLENGES OF BUREAUCRATIC REFORMATION IN INDONESIA (PUBLIC SERVICE PERSPECTIVE) (TANTANGAN REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA (PERSPEKTIF LAYANAN PUBLIK)

Abstract

Abstract

Bureaucracy and politics in Indonesia seemed unrelenting to be horrified by corruption cases. These two domains, both individually and jointly, are sources and means of corruption. Not only touched ordinary bureaucrats, but also state officials. There are many cases of corruption involves bureaucrat (as authority holder of budget users) and politicians (owners of power to determine budget allocations). If not careful, it could be that state officials who do not have the knowledge and experience of the bureaucracy and have no intention of corruption became as the victims. Why are the various bureaucratic reforms by the government, apparently, not having an impact on changes in clean and serving bureaucracy? While bureaucracy is a concept that is broad in scope, including structural and cultural improvements. In more detail, it includes structural (institutional), procedural, cultural, and bureaucratic ethics. Government bureaucratic reform is defined as the use of authority to reform in the form of implementing new regulations on the government administration system to change objectives, structures and procedures intended to facilitate the achievement of development goals. In the Indonesian context, with a paternalistic culture that is still strong, the success of bureaucratic reform will be largely determined by the role of high-ranking bureaucratic leaders or officials. So this improvement should be done from the top level, because bureaucratic leaders often act as 'patrons' so that it will be easier to become an example for their subordinates. Revamping bureaucracy leads to rearranging the internal and external aspects of the bureaucracy. At the internal level, reforming the bureaucracy must be applied at the top level (top level bureaucrats), middle level (bureaucrats), and implementing levels (street level bureaucrats). Improvement on the top level must take precedence because the strategic position of the bureaucrats at the top level is as a strategic decision maker. At the intermediate level, strategic decisions made by leaders must be elaborated in operational decisions and subsequently into technical decisions for street level bureaucrats.

Keywords: Traditional fishermen, Modern fishermen, Social sustainability, Social justice

 

Abstrak

Birokrasi dan politik di Indonesia nampaknya tak henti-hentinya ngeri dengan kasus korupsi. Dua domain ini, baik secara individu maupun bersama, adalah sumber dan sarana korupsi. Tidak hanya menyentuh birokrat biasa, tetapi juga pejabat negara. Ada banyak kasus korupsi melibatkan birokrat (sebagai pemegang otoritas pengguna anggaran) dan politisi (pemilik kekuasaan untuk menentukan alokasi anggaran). Jika tidak hati-hati, bisa jadi pejabat negara yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman birokrasi dan tidak memiliki niat korupsi menjadi korban. Mengapa berbagai reformasi birokrasi oleh pemerintah, tampaknya, tidak berdampak pada perubahan dalam birokrasi yang bersih dan melayani? Sedangkan birokrasi adalah konsep yang luas cakupannya, termasuk perbaikan struktural dan budaya. Secara lebih rinci, ini mencakup etika struktural (institutional), prosedural, budaya, dan birokrasi. Reformasi birokrasi pemerintah didefinisikan sebagai penggunaan wewenang untuk mereformasi dalam bentuk mengimplementasikan peraturan baru pada sistem administrasi pemerintah untuk mengubah tujuan, struktur dan prosedur yang dimaksudkan untuk memfasilitasi pencapaian tujuan pembangunan. Dalam konteks Indonesia, dengan budaya paternalistik yang masih kuat, keberhasilan reformasi birokrasi akan sangat ditentukan oleh peran pemimpin atau pejabat birokrasi tingkat tinggi. Jadi perbaikan ini harus dilakukan dari tingkat atas, karena para pemimpin birokrasi sering bertindak sebagai 'pelindung' sehingga akan lebih mudah untuk menjadi contoh bagi bawahan mereka. Pembenahan birokrasi mengarah pada penataan kembali aspek internal dan eksternal birokrasi. Di tingkat internal, reformasi birokrasi harus diterapkan di tingkat atas (birokrat tingkat atas), tingkat menengah (birokrat), dan tingkat pelaksana (birokrat tingkat jalanan). Peningkatan di tingkat atas harus diutamakan karena posisi strategis birokrat di tingkat atas adalah sebagai pembuat keputusan strategis. Di tingkat menengah, keputusan strategis yang dibuat oleh para pemimpin harus dijabarkan dalam keputusan operasional dan selanjutnya menjadi keputusan teknis untuk birokrat tingkat jalanan.

Kata kunci:  Reformasi birokrasi, Paternalistik, Etika birokrasi, Pelayanan public